Mau pintar kok mahal. Tanya kenapa?”? Iklan produk rokok yang pernah populer itu memang cukup menggelitik. Ya, di negeri berpenduduk 240 juta jiwa ini, pendidikan adalah barang mewah. Kendati pemerintah mencanangkan wajib belajar pendidikan dasar(wajardikdas) sembilan tahun, nyatanya rakyat tak diberi kesempatan mengenyam bangku sekolah.
Setidaknya, bagi rakyat miskin yang untuk memikirkan isi perut pun pusing tujuh keliling. Apalagi mikirin sekolah. Walhasil, hak anak-anak di negeri ini pun terenggut. Lihatlah, betapa banyak anak-anak tak bisa sekolah atau drop out karena keadaan ekonomi orangtuanya yang morat-marit. Wajah polos anak-anak yang haus ilmu itu, terganti wajah sendu karena turut memikirkan perutnya sendiri.
Wajah yang semestinya cerah ceria dengan memuaskan gelegak keingintahuannya di sekolah, berganti dengan bermuram durja. Begitulah jika ilmu sudah terlanjur mahal. Untuk masuk ke sekolah dompet harus tebal. Memang ada, beberapa sekolah gratis di berbagai daerah tertentu. Seperti di Jembrana Bali, Kota Bogor, dll. Namun biasanya tak murni cuma-cuma. Pada praktiknya, ada saja beban yang harus ditanggung orang tua, dimana bagi si miskin cukup memusingkan. Seperti biaya seragam, buku-buku, ongkos transportasi, iuran OSIS, biaya ujian, dll.
Ironisnya, anak-anak orang kaya yang mendapat fasilitas pendidikan sangat baik, tak sedikit yang menyia-nyiakan kesempatan itu. Ada pelajar di sekolah favorit nan mahal, prestasinya pas-pasan. Maklum, masuknya juga nggak pakai modal otak, yang penting ada duit. Biarpun nilai tak memenuhi kriteria, tapi karena bisa “beli bangku”, ya diterima dengan tangan terbuka. Mungkin pelajar model gini berpikir, untuk apa pintar, toh jaminan materi orangtua tak habis tujuh turunan. Untuk apa giat belajar, toh nilai bisa dibeli. Untuk apa takut, kalau kelulusan pun bisa dikatrol.
Maaf, tanpa bermaksud merendahkan peranan para guru, dengan tingkat kesejahteraan yang sangat rendah, ada saja oknum pendidik yang bisa dikendalikan oleh rupiah. Jangan heran jika mendengar berita, baru-baru ini 16 guru di Deli Serdang digelandang ke kantor polisi karena kepergok mengganti lembar jawaban siswanya. Kasus seperti itu tidaklah mengejutkan. Curang dalam UN seolah sudah menjadi tradisi. Biasanya semua cuek, dan ketidak-adilanpun dibiarkan. Mengapa para guru melakukan hal itu? Demi mempertahankan nama baik sekolah dan meningkatkan bargaining: ini loh, siswa-siswi kami berprestasi, bisa lulus 100 persen. Dengan demikian, ada alasan bagi sekolah tersebut untuk menaikkan sumbangan dana pembangunan pada tahun ajaran baru berikutnya. Betul-betul kapitalis.
Ya, buruknya sistem pendidikan ini tak lepas dari paradigma pendidikan sekuler yang telah mengakar kuat. Pendidikan yang dibangun atas azas materialistis. Menurut ideologi pemisah agama dari kehidupan ini, pendidikan sah-sah saja dikomersilkan. Bahkan sedikit demi sedikit pemerintah dibiarkan berlepas tangan. Skenario anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, nyatanya cuma dongeng. Pendidikan sekuler,sekadar melihat keberhasilan dari nilai-nilai. Maka apapun dilakukan demi nilai, tak peduli halal atau haram. Yah, apa boleh buat. Kalau sudah begini, pertanda “orang miskin dilarang pintar dan orang kaya tak perlu cerdas
just do it!
10 tahun yang lalu